Contact Us

Banner 468 x 60px

 

Tidak Untuk Kedua Kali

0 komentar
             Hari sudah rembang petang, bola merah saga menodai seluruh permukaan laut. Berkilau merah, seperti api membara. Di kejauhan, entah di balik gunung, entah di seberang lautan, yang dipisahkan gugusan bukit-bukit kecil, sayup-sayup terdengar azan magrib menggema. Indah... syahdu, memenuhi gendang telingaku, menerobos jauh ke relung sukma ku yang paling dalam.

          Kumandang azan itu sperti menyeret jiwaku mengembara jauh ke lautan kenangan tujuh tahun silam. Suara muazin, nyaris sama dengan suaranya, suara ayah dari dua orang anakku, Sam. Samudera, itulah namanya, nama suamiku. Dia yang kusayangi sepenuh jiwaku, tempatku berbagi rasa dan bermanja, sekarang telah tiada. Hanya dua orang gadis kecil yang ditinggalkannya bersamaku, menemani hari-hari sepiku tanpanya. 

         Betapa takdir telah merampas segalanya dariku. Seakan tanpa ampun takdir mengambil semua bahagia yang kumiliki bersamanya. 
Aku seperti kesulitan bernafas, mengingat kejadian itu. Suamiku yang sore itu baru pulang dari mengantarkan anak-anaknya mengaji di salah satu TPA di kotaku, tiba-tiba harus meregang nyawa, karena kena peluru nyasar seorang abdi negara, pengayom masyarakat. Tidak sengaja memang. Namun apakah dalih tidak sengaja itu bisa mengembalikan nyawa suamiku? Ayah dari dua orang gadis kecil yang masih sangat polos. Apakah tidak sengaja itu bisa memenuhi kebutuhan hidupku dan anak-anakku? Tragis memang. Namun itulah yang terjadi. Dan dua orang gadis kecilku hanya mengira, bahwa ayah mereka hanya tidur sementara di gundukan tanah merah di samping rumahku. Dan setiap bangun tidur, mereka akan berlari riang menuju gundukan tanah, untuk membangunkan ayah mereka. Walau akhirnya, mereka akan pulang dengan raut wajah cemberut, karena ayahnya tidak mau ikut pulang bersama mereka. Keadaan ini terus berlangsung sampai akhirnya seiring waktu berjalan, mereka mengerti juga, Bahwa ayah mereka tidur selamanya di gundukan tanah itu dan tidak akan pernah bangun lagi. Tidak akan pernah mengantar mereka mengaji lagi, tidak akan pernah mengantar mereka sekolah, tidak akan pernah membawa mereka ke masjid, dan tidak akan pernah menyuapi mereka makan sahur. Tidak akan... tidak akan pernah lagi. 

         Sekarang mereka sudah tahu, bahwa mereka hanya punya aku saja. Hanya aku. Karena di kota ini, kami sekeluarga bukan penduduk asli. Kami hijrah dari tanah seberang yang puluhan ribu mil jauhnya, demi tugas suamiku. Namun aku tidak boleh menyesali kepindahan kami ke kota ini, walaupun disini, aku telah kehilangan tulang punggung keluargaku, tempat aku menyandarkan segala kepenatan dan rasa bahagia dalam hidupku.

         Perlahan tapi pasti, bola raksasa yang memerah saga, hilang dari pandanganku. Aku sendirian kini. Aku harus apa? Kegalauan hatiku tidak mungkin kubagi pada anak-anakku. Mereka masih terlalu muda untuk tahu hal ini. Hhhhh...h... kutarik nafas sedalam mungkin untuk kuhempaskan lagi ke bumi. Aku berharap agar hempasan nafasku bisa menyelesaikan masalah hidupku. Aku tidak mengerti, mengapa derita harus terus mendera hidupku. Betapa tidak, hidup yang kujalani dengan susah payah, kutata bersama dua orang gadisku, tiba tiba harus kembali dihadapkan dengan suatu prahara. Ya...pinangan kakaknya almarhum suamiku merupakan prahara, yang telah memporak-porandakan benteng pertahanan jiwa yang berusaha kubangun diatas puing-puing kehancuran, kehilangan sepenggal hatiku, suamiku Samudera. 

        Belum lagi tegak fondasi kehidupanku, harus dihadapkan dengan datangnya kakak Pram. Walau tidak suka, tapi aku harus memanggilnya kakak Pram, karena dia kakak dari almarhum suamiku.

       Aku mengira, kedatangan kakak Pram ke kotaku, karena ada urusan lain. Namun tak kuduga, dia justru datang untukku. Untuk memintaku menjadi istrinya, menggantikan kedudukan almarhum istrinya, yang meninggal beberapa bulan lalu.

        Ya Allah... kenapa harus aku? bukankah di kota tempat tinggalnya masih banyak ribuan bahkan jutaan perempuan yang pasti siap untuk dinikahinya. Dan andai dia mau, dia pasti bisa mendapat 1,2 atau 3 diantara mereka. Betapa tidak, kakak Pram nampak matang berwibawa di usianya yang baru menginjak 38 tahun, ditambah lagi dari segi ekonomi dia sangat mapan. Anaknya hanya satu ditambah lagi, kakak Pram orangnya soleh. Apa lagi? aku benar-benar tidak mengerti, kenapa dia justru menginginkan aku. Ooh tidak! Aku tidak sanggup membayangkan ada laki-laki lain yang menggantikan posisi almarhum suamiku. No...! Sampai kapanpun juga. Aku ingin suamiku, memiliki aku bukan hanya di dunia, namun kelak di akhirat nanti. Ya Rabb... tolong bantu aku untuk meyakinkan kakak Pram, bahwa aku bukanlah wanita yang tepat untuknya. Masih banyak yang lain, yang lebih segalanya dari aku. 

         Tolong Ya Rabbb.... aku sudah berulang kali berusaha, agar dia jangan memaksa aku. Karena aku tidak mampu untuk merubah nama Sam suamiku menjadi Pram. Bahkan membayangkannya saja aku tidak sanggup. 

           Ya Allah... Engkau Maha membolak-balikkan hati Hamba-hamba-Mu. Tolong balikkanlah hati kakak Pram, tolong palingkanlah dariku, ke perempuan lain, yang lebih segala-galanya dariku. Kumohon Ya Rabb... tolong... tolonglah aku. Aku tak ingin anak-anakku merasa kehilangan untuk kedua kalinya, karena ibu mereka menikah lagi, walaupun itu dengan paman mereka sendiri. Jangan Ya Rabb... aku takut, aku tak sanggup. Sungguh. 


Gorontalo Berhujan, Jumat 18 Agustus 2017
16:58 WITA

0 komentar:

Posting Komentar

 
DUNIA FANA © 2017 .
Animated Spinning Kunai - Naruto